Senin, 10 Oktober 2016

Tugas Softskill Kelompok Ibu Bani Zamzami BAB 1

Mata Kuliah: Etika Bisnis #
BAB 1: Definisi Etika dan Bisnis sebagai sebuah profesi

      Hakekat Mata Kuliah Etika Bisnis

Etika bisnis adalah menganalisis atas asumsi-asumsi bisnis, baik asumsi moral maupun pandangan dari sudut moral. Karena bisnis beroperasi dalam rangka suatu sistem ekonomi, maka sebagian dari tugas etika bisnis hakikatnya mengemukakan pertanyaan-pertanyaan tentang sistem ekonomi yang umum dan khusus, dan pada gilirannya menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tentang tepat atau tidaknya pemakaian bahasa moral untuk menilai sistem-sistem ekonomi, struktur bisnis.

Contoh praktek etika bisnis yang dihubungkan dengan moral :
Uang milik perusahaan tidak boleh diambil atau ditarik oleh setiap pejabat perusahaan untuk dimiliki secara pribadi. Hal ini bertentangan dengan etika bisnis. Memiliki uang dengan cara merampas atau menipu adalah bertentangan dengan moral. Pejabat perusahaan yang sadar etika bisnis, akan melarang pengambilan uang perusahaan untuk kepentingan pribadi, Pengambilan yang terlanjur wajib dikembalikan.

2.      Definisi Etika dan Bisnis
Kata etika, Menurut bahasa Yunani, kata etika berawal dari kata ethos yang memiliki arti sikap, perasaan, akhlak, kebiasaan, watak. Sedangkan Magnis Suseno berpendapat bahwa etika merupakan bukan suatu ajaran melainkan suatu ilmu. Dengan kata lain, bahwa didalam etika setidaknya terdapat komponen etika berupa : kebebasan dan tanggung jawab, hak dan kewajiban, baik dan buruk, keutaman dan kebahagiaan.
Kata kedua adalah bisnis, yang diartikan sebagai suatu usaha. Jika kedua kata tersebut dipadukan, yaitu etika bisnis maka dapat didefinisikan sebagai suatu tata cara yang dijadikan sebagai acuan dalam menjalankan kegiatan berbisnis. Dimana dalam tata cara tersebut mencakup segala macam aspek, baik dari individu, institusi, kebijakan, serta perilaku berbisnis.
Etika Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan sehat, Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati kaidah-kaidah etika sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
Etika Bisnis dapat menjadi standar dan pedoman bagi seluruh karyawan termasuk manajemen dan menjadikannya sebagai pedoman untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan dilandasi moral yang luhur, jujur, transparan dan sikap yang profesional.

3.      Etiket Moral, Hukum dan Agama
Istilah etiket berasal dari kata Prancis etiquette, yang berarti kartu undangan, yang lazim dipakai oleh raja-raja Prancis apabila mengadakan pesta. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah etiket berubah bukan lagi berarti kartu undangan yang dipakai raja-raja dalam mengadakan pesta. Dewasa ini istilah etiket lebih menitikberatkan pada cara-cara berbicara yang sopan, cara berpakaian, cara menerima tamu dirumah maupun di kantor dan sopan santun lainnya. Jadi, etiket adalah aturan sopan santun dalam pergaulan.
Dalam pergaulan hidup, etiket merupakan tata cara dan tata krama yang baik dalam menggunakan bahasa maupun dalam tingkah laku. Etiket merupakan sekumpulan peraturan-peraturan kesopanan yang tidak tertulis, namun sangat penting untuk diketahui oleh setiap orang yang ingin mencapai sukses dalam perjuangan hidup yang penuh dengan persaingan.
Etiket juga merupakan aturan-aturan konvensional melalui tingkah laku individual dalam masyarakat beradab, merupakan tatacara formal atau tata krama lahiriah untuk mengatur relasi antarpribadi, sesuai dengan status social masing-masing individu.

·                     Perbedaan Moral dan Hukum :
Sebenarnya ataa keduanya terdapat hubungan yang cukup erat. Karena anatara satu dengan yang lain saling mempegaruhi dan saling membutuhkan. Kualitas hukum ditentukan oleh moralnya. Karena itu hukum harus dinilai/diukur dengan norma moral. Undang-undang moral tidak dapat diganti apabila dalam suatu masyarakat kesadaran moralnya mencapai tahap cukup matang. Secaliknya moral pun membutuhkan hukum, moral akan mengambang saja apabil atidak dikukuhkan, diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat. Dengan demikian hukum dapat meningkatkan dampak social moralitas. Walaupun begitu tetap saja antara Moral dan Hukum harus dibedakan. Perbedaan tersebut antara lain :
-          Hukum bersifat obyektif karena hukum dituliskan dan disusun dalam kitab undang-undang. Maka hkum lebih memiliki kepastian yang lebih besar.
-          Norma bersifat subyektif dan akibatnya seringkali diganggu oleh pertanyaan atau diskusi yang menginginkan kejelasan tentang etis dan tidaknya.
-          Hukum hanya membatasi ruang lingkupnya pada tingkah laku lahiriah manusia saja.
-          Sedangkan moralitas menyangkut perilaku batin seseorang.
-          Sanksi hukum bisanya dapat dipakasakan.
-          Sedangkan sanksi moral satu-satunya adalah pada kenyataan bahwa hati nuraninya akan merasa tidak tenang.
-          Sanksi hukum pada dasarnya didasarkan pada kehendak masyarakat.
-          Sedangkan moralitas tidak akan dapat diubah oleh masyarakat
·                     Perbedaan Etika dan Agama :
Etika mendukung keberadaan Agama, dimana etika sanggup membantu manusia dalam menggunakan akal pikiran untuk memecahkan masalah. Perbedaan antara etika dan ajaran moral agama yakni etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional. Sedangkan Agama menuntut seseorang untuk mendasarkan diri pada wahtu Tuhan dan ajaran agama.

·                     Etika dan Moral
Etika lebih condong kearah ilmu tentang baik atau buruk. Selain itu etika lebih sering dikenal sebagai kode etik. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan atau nilai yang berkenaan dengan baik buruk. Dua kaidah dasar moral adalah :
-          Kaidah Sikap Baik. Pada dasarnya kita mesti bersikap baik terhadap apa saja. Bagaimana sikap baik itu harus dinyatakann dalam bentuk yang kongkret, tergantung dari apa yang baik dalam situasi kongkret itu.
-          Kaidah Keadilan. Prinsip keadilan adalah kesamaan yang masih tetap mempertimbangkan kebutuhan orang lain. Kesamaan beban yang terpakai harus dipikulkan harus sama, yang tentu saja disesuaikan dengan kadar angoota masing-masing. 
4.      Klasifikasi Etika
a)         Etika Normatif
       Etika Normatif merupakan cabang etika yang penyelidikannya terkait dengan pertimbangan-pertimbangan tentang bagaimana seharusnya seseorang bertindak secara etis. Dengan kata lain, etika normatif adalah sebuah studi tindakan atau keputusan etis. Di samping itu, etika normatif berhubungan dengan pertimbangan-pertimbangan tentang apa saja kriteria-kriteria yang harus dijalankan agar sautu tindakan atau kepusan itu menjadi baik. Dalam etika normatif ini muncul teori-teori etika, misalnya etika utilitarianisme, etika deontologis, etika kebajikan dan lain-lain. Suatu teori etika dipahami bahwa hal tersebut mengajukan suatu kriteria tertentu tentang bagaimana sesorang harus bertindak dalam situasi-situasi etis.

b)        Etika Terapan
       Etika terapan merupakan sebuah penerapan teori-teori etika secara lebih spesifik kepada topik-topik kontroversial baik pada domain privat atau publik seperti perang, hak-hak binatang, hukuman mati dan lain-lain. Etika terapan ini bisa dibagi menjadi etika profesi, etika bisnis dan etika lingkungan. Secara umum ada dua fitur yang diperlukan supaya sebuah permasalahan dapat dianggap sebagai masalah etika terapan.
Pertama, permasalahan tersebut harus kontroversial dalam arti bahwa ada kelompok-kelompok yang saling berhadapan terkait dengan permasalahan moral. Masalah pembunuhan, misalnya tidak menjadi masalah etika terapan karena semua orang setuju bahwa praktik tersebut memang dinilai tidak bermoral. Sebaliknya, isu kontrol senjata akan menjadi masalah etika terapan karena ada kelompok yang mendukung dan kelompok yang menolak terhadap isu kontrol senjata.
c)         Etika Deskriptif
       Etika deskriptif merupakan sebuah studi tentang apa yang dianggap ‘etis’ oleh individu atau masyarakat. Dengan begitu, etika deskriptif bukan sebuah etika yang mempunyai hubungan langsung dengan filsafat tetapi merupakan sebuah bentuk studi empiris terkait dengan perilaku-perilaku individual atau kelompok. Tidak heran jika etika deskriptif juga dikenal sebagai sebuah etika komparatif yang membandingkan antara apa yang dianggap etis oleh satu individu atau masyarakat dengan individu atau masyarakat yang lain serta perbandingan antara etika di masa lalu dengan masa sekarang. Tujuan dari etika deskriptif adalah untuk menggambarkan tentang apa yang dianggap oleh seseorang atau masyarakat sebagai bernilai etis serta apa kriteria etis yang digunakan untuk menyebut seseorang itu etis atau tidak.
d)        Metaetika
       Metaetika berhubungan dengan sifat penilaian moral. Fokus dari metaetika adala arti atau makna dari pernyataan-pernyataan yang ada di dalam etika. Dengan kata lain, metaetika merupakan kajian tingkat kedua dari etika. Artinya, pertanyaan yang diajukan dalam metaetika adalah apa makna jika kita berkata bahwa sesuatu itu baik?
Metaetika juga bisa dimengerti sebagai sebuah cara untuk melihat fungsi-fungsi pernyataan-pernyataan etika, dalam arti bagaimana kita mengerti apa yang dirujuk dari pernyataan-pernyataan tersebut dan bagaimana pernyataan itu didemonstrasikan sebagai sesuatu yang bermakna.
       Perkembangan metaetika awalnya merupakan jawaban atas tantangan dari Positivisme Logis yang berkembang pada abad 20-an (Lee, 1986, 8). Kalangan pendukung Positivisme Logis berpendapat bahwa jika tidak bisa memberikan bukti yang menunjukkan sebuah pernyataan itu benar, maka pernyataan itu tidak bermakna. Ketika prinsip dari Positivisme Logis juga diujikan kepada pernyataan-pernyataan etis, maka pernyataan-pernyataan itu harus berdasarkan bukti. Ringkasnya, jika tidak ada bukti, maka tidak ada makna.
       Di sini kata kuncinya adalah apa yang dikenal dengan “naturalistic fallacy“, yaitu dianggap akan melakukan kesalahan jika kita menarik suatu pernyataan tentang apa yang seharusnya dari pernyataan tentang apa yang ada. Kesulitan dari bahasa etika adalah penyataan-pernyataannya tidak selalu berupa fakta. Disinilah peran sentral dari metaetika yang mengembangkan berbagai cara untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan bahasa etika dengan intensi bahwa pernyataan-pernyataan etis punya makna. Dalam pembahasan ini metaetika biasanya terbagi menjadi dua, yaitu realisme etis dan nonrealisme etis.
5.      Konsepsi Etika
       Etika berbeda dengan etiket. Jika etika berkaitan dengan moral, etiket hanya bersentuhan dengan urusan sopan santun. Belajar etiket berarti belajar bagaimana bertindak dalam cara-cara yang sopan; sebaliknya belajar etika berarti belajar bagaimana bertindak baik. Etiket didefinisikan sebagai cara-cara yang diterima dalam suatu masyarakat atau kebiasaan sopan-santun yang disepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia. Etiket yang menyangkut tata cara kenegaraan disebut protokol. Etiket antara lain menyangkut cara berbicara, berpakaian, makan, menonton, berjalan, melayat, menelpon dan menerima telepon, bertamu, dan berkenalan.
Konsep-konsep dasar etika antara lain adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia serta azas-azas akhlak (moral) serta kesusilaan hati seseorang untuk berbuat baik dan juga untuk menentukan kebenaran atau kesalahan dan tingkah Laku seseorang terhadap orang lain.
Secara umum dikenal beberapa teori etika yang digunakan oleh individu sebagai dasar dalam mengambil keputusan yang dianggap etis, yaitu :
1)      Teori Deontologi (Teori Kewajiban)
            Deontologi berasal dari bahasa Yunani deon, yang berarti kewajiban. Deontologi merupakan teori etika yang menyatakan bahwa yang menjadi dasar bagi baik buruknya suatu perbuatan adalah kewajiban seseorang untuk berbuat baik sesama manusia. Tujuan bukanlah faktor pembenar bagi perbuatan untuk dinilai baik atau tidak baik. Suatu tindakan dinilai baik bukan berdasarkan atau tujuan baik dari tindakan itu, namun berdasarkan kewajiban bertindak baik kepada orang lain sebagaimana setiap individu memiliki keinginan untuk selalu berlaku baik-baik kepada diri sendiri. Jadi, teori ini menyatakan bahwa berbuat baik merupakan kewajiban yang menjadi keharusan kepada orang lain.
2)    Teori Utilitarianisme
            Teori Utilirarianisme sebenarnya merupakan turunan dari teori teleologi (konsekuensialis). Teori Teologi menyatakan bahwa baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dengan tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik kalau bertujuan mencapai sesuatu yang baik. Sedangkan teori Utilirarianisme mengatakan bahwa suatu kegiatan bisnis adalah baik dilakukan jika bisa memberikan manfaat kepada sebagian besar masyarakat atau konsumen dalam konteks bisnis. Dalam lingkup bisnis, pencerminan teori ini bisa tergambar dalam analisis biaya manfaat (cost benefit analys). Yang sedang digunakan oleh suatu bisnis sebagai suatu pertimbangan dalam membuat keputusan manajemen. Konsekuensi dari penerapan teori ini adalah terjadinya praktik – praktik bisnis yang berorientasi hasil (result oriented), karena ada anggapan bahwa niat baik saja tidak cukup untuk memberikan manfaat, namun disisi lain, terdapat beberapa sisi negative, antara lain mengabaikan proses untuk mencapai hasil, apakah sudah sesuai dengn hak dan kewajiban, apakah tidak mencederai keadilan, dan lain – lain.
3)      Teori Hak
            Teori hak merupakan salah satu bagian dari teori Deontologi, karena hak berhubungan dengan kewajiban. Secara logis dalam tindakan yang bersifat ekonomis, seseorang yang telah melakukan kewajiban, akan menuntut hak sebagai timbale balik yang rasional. Dalam hal ini, hak yang dimaksud adalah yang dianggap setara terhadap pengorbanan kewajiban yang telah dilakukan. Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat manusia itu sama halnya mendapat perlakuan yang sama.

4)      Teori Egoisme
            Teori ini merupakan bagian dari teori teleologi atau teori konsekuensialis. Teori ini memandang bahwa perilaku moral dianggap baik manakala lebih menguntungkan dibandingkan dengan merugikan bagi individu yang melakukan tindakan moral, meskipun tidak selalu harus mengabaikan kesejahteraan orang lain. Dengan kata lain teori ini menganggap bahwa individu harus mengambil keputusan yang dapat memaksimalkan kemanfaatan pada diri sendiri.
5)      Teori Religius
            Teori religious memiliki konsep bahwa Tuhan adalah tujuan akhir manusia, karena Tuhan merupakan nilai tertinggi dan universal, dan kebahagiaan manusia akan tercapai manakala manusia mengikjtsertakan Tuhan dalam kehidupannya. Dalam teori ini dinyatakan bahwa ketika seseorang ingin menikmati kepuasan dunia, maka salah satu cara dengan mengikuti perintah Tuhan-Nya, karena subjektifitas moral tertinggi berada dalam nilai agama, agar manusia mencapai tujuan hidupnya.

Referensi Bab 1 & Bab 2
Dr. H. Untung Budi, S.H., M.M tahun 2012 “ HUKUM DAN ETIKA BISNIS”, CV Andi Offset, Yogyakarta.  

Ernawan, Erni. 2011. Business Ethics. Penerbit: Alfabeta. Bandung.

Drs.H. As, Mahmoedin (1996). Etika Bisnis Perbankan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.


Drs.Danang Suyoto, S.H.,S.E., M.M. dan Wika Harisa Putri,S.E.,S.H.,M.Sc., M.E.I (2014). Etika Bisnis. Caps Publishing.
                                                                                                     
                                                                                                    Foto Kelompok



Tidak ada komentar:

Posting Komentar