Kemelut
di Golkar
(Tinjauan
dari sisi hukum)
Partai
Golkar tak akan merestui kadernya yang membantu presiden dan wakil presiden
terpilih, Joko Widodo-Jusuf Kalla, dengan masuk dalam kabinet pemerintahan.
Sikap tegas itu dikeluarkan berkaitan dengan posisi Golkar yang konsisten
berada dalam koalisi pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di luar
pemerintahan.
"Aburizal
Bakrie enggak akan tanda tangani kader partainya yang masuk dalam kabinet
Jokowi-JK karena kita sudah memilih berada di luar, dan kita harus bisa
konsisten," kata Wakil Ketua Balitbang DPP Partai Golkar, Ali Mochtar
Ngabalin, di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (23/8/2014).
Menurut
Agung, perbedaan yang merupakan bagian dari dinamika partai seharusnya
diselesaikan dengan dialog, bukan dengan pemberhentian. Jika pemberhentian
tersebut tidak memiliki dasar kuat, Agung siap melawan.
Menyusul adanya konflik internal di Partai Golkar ini, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono tetap mempertahankan Agung untuk menjabat hingga masa
jabatan berakhir.
"Ia tetap akan menjalankan tugas Menko Kesra sampai kabinet
berakhir," kata Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha.
Partai
Golkar memecat sejumlah pengurus partai karena dinilai melakukan langkah yang
berbeda dari kebijakan partai. Wakil Ketua Umum Partai Golkar Fadel Mohammad
mengatakan, pemecatan tersebut dimulai saat rapat harian terbatas, Jumat
(8/8/2014) lalu.
Rapat
tersebut, tutur Fadel, diawali dengan paparan hasil kajian yang dilakukan tim
internal yang dipimpin Mahyudin, Ketua DPP Partai Golkar bidang Organisasi dan
Pengurus Daerah.
"Selanjutnya,
dihasilkan beberapa nama yang memang sudah nyata-nyata ingin menunjukkan sikap
berbeda dengan DPP Partai Golkar," kata Fadel di Jakarta, Minggu
(10/8/2014) siang.
Agung
Laksono dipecat dari posisinya sebagai Wakil Ketua Umum Golkar. Selain Agung,
menurut politisi senior Golkar, Zainal Bintang, pemecatan juga dikenakan
terhadap Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan DPP Partai Golkar Indra J
Piliang, Ketua Bidang Pemuda DPP Partai Golkar Yorrys Raweyai, dan sejumlah
pengurus lainnya.
Sebelumnya,
Golkar juga sudah mengeluarkan tiga kadernya dari keanggotaan partai, yakni
Nusron Wahid, Poempida Hidayatullah, dan Agus Gumiwang. Ketiganya mendukung
pasangan calon presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Sementara itu, Partai
Golkar secara resmi mengusung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.
Politisi
muda Partai Golkar Poempida Hidayatulloh menilai, semangat demokrasi di tubuh
Golkar, nampaknya kian memudar. Menurutnya, otoritarianisme dari elit nya
semakin terlihat.
"Ini
terjadi dengan bertubi-tubinya ancaman kepada pihak-pihak yang berbeda dengan
orientasi politik DPP. Wakil Ketua Umum Agung Laksono pun tidak juga luput dari
ancaman tersebut. Agung yang giat mendorong Munas dilaksanakan Oktober 2014
demi AD/ART didepak dari posisinya sebagai Wakil Ketua Umum Partai
Golkar," ujar Poempida, Senin (11/8/2014).
Tidak
hanya itu saja, Poempida menambahkan, semua pengurus daerah pun terancam
dibekukan apabila menyuarakan atau mendorong Munas diselenggarakan di Oktober
2014.
"Mengapa
Golkar menjadi sedemikian mundur? Apakah egosentris elit Golkarsemakin tidak
terkendali dan tidak bisa lagi bermain politik secara cerdas?" ia
mempertanyakan.
"Jika
masalah seperti ini dibiarkan oleh segenap kader Golkar, Partai ini akan
mundur. Jelas terjadi "Reversed Evolution". Atau bahkan berpotensi
terjadi "destructive revolution" (revolusi yang menghancurkan),"
tegasnya.
Kondisi
seperti ini, dianggapnya semakin jelas, untuk menjadi tanggung jawab semua
kader. Ia pun berharap, semua kader
Partai Golkar tidak berdiam diri.
"Karena
Golkar mempunyai kader-kader yang kompeten yang kritis dan berani. Dan inilah
saat di mana peran kader-kader itu mendapatkan tantangan yang jelas ada di
depan mata," pungkasnya.
Ketua
Dewan Pakar Partai Golkar Siswono Yudohusodo mengungkapkan sejumlah nama yang
akan menggantikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Aburizal Bakrie.
Siswono
menilai Aburizal telah gagal memimpin partai berlambang pohon beringin itu.
"Yang
sekarang beredar cukup banyak, yang berkualitas cukup banyak," kata
Siswono di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (24/7/2014), seperti
dikutip Tribunnews.com.
Tinjauan dari sisi hukum.
Kepastian hukum diperlukan yaitu siapa diantara salah satu
pihak adalah pengurus yang sah. Jalan melalui arbitrase masih memerlukan
kesediaan kedua belah pihak karena arbitrase biasanya bersifat ad hoc dan perlu
penunjukan arbitrator oleh kedua pihak. Mahkamah partai politik merupakan
mekanisme terakhir apabila cara opsional tidak mungkin ditempuh lagi oleh kedua
belah pihak dengan demikian apa pun hasilnya putusan mahkamah parpol haruslah
diterima karena UU memberi sifat final putusan tersebut, res juricata facit
ius, kata maxim atau adagium hukum.
"UU memberikan kedudukan kepada Mahkamah partai politik
sebagai lembaga peradilan meskipun Mahkamah parpol tetap otonom lembaga
internal partai," ujar Haryono saat dimintai pendapat soal penyelesaian
kasua sengketa kepengurusan Partai Golkar, Rabu (6/5).
Menurutnya, pemberian kewenangan sebagai lembaga peradilan
dalam sebuah organisasi yang otonom bukanlah hal yang dilarang oleh UUD. Dari
sudut pandang mekanisme penyelesaian sengketa, cara demikian dipandang lebih
adil dan efisien karena diputuskan dalam komunitasnya sendiri tanpa ikut
campurtangannya pihak luar termasuk negara. UU pernah mengakui keberadaan
pengadilan adat adalah contoh pemberian kewenangsan otonom untuk penyelesaian
perselisihan yang tidak selalu dilakukan oleh peradilan negara. Demikian halnya
penyelesaian di luar peradilan dengan cara arbitrase dimana negara
mengakui dan memberikan kekuatan eksekutorial.
Apabila sifat finalitas keputusan mahkamah partai dipermasalahkan secara hukum, artinya apakah sebuah lembaga internal parpol mempunyai kewenangan yang sama dengan kewenangan peradilan negara yang putusannya bersifat final, maka hal ini tidak menjadi kewenangan PTUN melainkan menjadi masalah konstitusionalitas sebuah UU yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutuskannya.
Apabila sifat finalitas keputusan mahkamah partai dipermasalahkan secara hukum, artinya apakah sebuah lembaga internal parpol mempunyai kewenangan yang sama dengan kewenangan peradilan negara yang putusannya bersifat final, maka hal ini tidak menjadi kewenangan PTUN melainkan menjadi masalah konstitusionalitas sebuah UU yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutuskannya.
"Putusan Mahmakah Partai Politik haruslah juga sebagai
putusan paksa pengadilan. Hal ini menurut Ahli telah tercermin dalam sifat
finalitas dari putusan mahkamah tersebut," jelasnya.
Peradilan negara dalam kasus ini PTUN tidak berwenang untuk
menguji putusan Mahmamah partai karena kuasa UU lah yang memberi sifat final
putusan mahkamah partai sebagaimana ditentukan dalam Pasal 32 UU No 2/2011,
selain itu putusan mahkamah partai bukan merupakan sebuah KTUN. Karena bukan
KTUN putusannya secara hipotetis potensi untuk diuji oleh peradilan lain.
Dengan demikian secara hipotetis akan terjadi sengketa kewenangan antar
peradilan apabila PTUN menguji keputusan mahkamah partai.
Putusan mahkamah partai dalam kasus a quo merupakan putusan einmalig yang menurut ahli dapat dipadankan dengan putusan sekali tuntas yaitu suatu keputusan yang tidak memerlukan perbuatan hukum lanjutan karena yang diputus adalah status hukum kepengurusan yang alternatifnya sah atau tidak sah dan bukan keputusan yang berisi kewajiban untuk melakukan sesuatu.
Putusan mahkamah partai dalam kasus a quo merupakan putusan einmalig yang menurut ahli dapat dipadankan dengan putusan sekali tuntas yaitu suatu keputusan yang tidak memerlukan perbuatan hukum lanjutan karena yang diputus adalah status hukum kepengurusan yang alternatifnya sah atau tidak sah dan bukan keputusan yang berisi kewajiban untuk melakukan sesuatu.
SANKSI FIFA
(Tinjauan dari sisi Hak pemain dan penonton
sepak bola)
Mengenai
sepakbola Indonesia, FIFA telah mengambil sikap. Badan tertinggi sepakbola
dunia tersebut telah menjatuhkan hukuman terhadap PSSI. Hukuman ini berlaku
segera dan akan berlangsung hingga waktu yang belum ditentukan.
Selama masa
hukuman, Indonesia kehilangan banyak hak sepakbolanya, termasuk ikut serta
dalam kejuaraan. Ada pengecualian, memang, yang membuat Tim Nasional Indonesia
tetap dapat ambil bagian di SEA Games. Namun bukan itu poin utamanya. Lama atau
tidaknya hukuman FIFA tergantung PSSI sendiri.
Selama masa
hukuman, PSSI kehilangan hak-hak keanggotaan mereka di FIFA. Selain itu, semua
kesebelasan Indonesia (tim nasional atau klub) tidak dapat terlibat dalam
kontak olah raga internasional. Hak-hak yang hilang dan larangan yang berlaku
termasuk hak untuk ikut serta dalam kejuaraan FIFA dan AFC (Asian Football
Confederation, Federasi Sepakbola Asia).
Hukuman yang
dijatuhkan FIFA tidak hanya membatasi hak-hak kesebelasan. Anggota dan pengurus
PSSI juga tidak dapat terlibat, termasuk sebagai peserta, dalam setiap program
pengembangan bakat, kursus, atau pelatihan yang diselenggarakan FIFA maupun
AFC.
Sanksi FIFA pupuskan Mimpi Kapten Persib.
Dua pemain Persib Bandung, Atep dan Dedi Kusnandar
merasa 'dongkol' setelah Indonesia dilarang berpartisipasi di seluruh ajang
kompetisi baik yang melibatkan timnas maupun klub yang dilaksanakan AFC dan AFC
setelah otoritas sepak bola dunia menjatuhkan sanksi kepada Indonesia.
Atep dan Dedi, sempat merasakan kebahagian
setelah namanya tercantum dalam daftar 25 pemain yang dipanggil Pelatih Timnas
Indonesia, Pieter Huistra jelang laha perdana babak kualifikasi II zona Asia
melawan Taiwan atau China Taipei, 11 Juni 2015 dan Irak, 16 Juni 2015.
Namun, kabar tersebut seketika berubah menjadi
duka setelah FIFA menjatuhkan vonis 'bersalah' setelah pemerintah Indonesia
dinilai mencampuri urusan federasi sepak bolanya, dalam hal ini PSSI, dalam
sidang Komite Eksekutif FIFA di Zurich, 30 Mei 2015.
Sanksi tersebut membuat kiprah Timnas Indonesia
mulai dari senior hingga tingkat usia sirna. Asa Atep dan Dedi bersama tiga
penggawa Persib lainnya yang dipanggil Huistra yakni I Made Wirawan, Dias Angga
Putra, dan Ahmad Jufriyanto, hilang.
"Sejak ramai terjadi kisruh, ini (sanksi
FIFA) merupakan hal yang paling dikhawatirkan oleh kita hingga akhirnya
ketakutan itu benar-benar terjadi. Cukup disayangkan dan kecewa pastinya. Tapi
mudah-mudahan situasi ini tidak berlangsung lama dan FIFA mencabut sanksi
kepada Indonesia," ungkap Atep.
Atep mengatakan sebelumnya dia cukup merasakan
kebahagian ketika timnas kembali memanggilnya. "Saya sudah cukup lama juga
tidak membela timnas, jadi pas kemarin ada panggilan dari timnas cukup bahagia
juga. Saya berharap saya masih punya kesempatan membela timnas lagi walaupun
saat ini situasinya serba sulit," paparnya.
Atep sendiri mengungkapkan secara pribadi tak
adanya kompetisi di dalam negeri membuat dirinya merasa dirugikan. Apalagi
manajemen Persib dalam hal ini, PT Persib Bandung Bermartabat (PBB) kemungkinan
akan mengkoreksi kesepakatan kontrak dengan seluruh pemain.
"Saya kira bukan hanya saya, tapi seluruh
pemain di Indonesia merasakan dan mengalami hal yang sama. Termasuk pihak di
luar tim, seperti pedagang kecil yang kerap berjualan saat pertandingan. Karena
situasi ini seperti ini, jadi mau tidak mau kita juga dituntut untuk mencari
penghasilan dari usaha lain," paparnya.
Lebih lanjut Atep berharap situasi sepakbola
Indonesia segera mencapai titik terang dan normal kembali. Dia meyakini
sepanjang semua pihak yang berkonflik mau duduk bersama, 'perang saudara' yang
terjadi akan berujung pada kesepakatan damai.
Dia pun meyakini sebenarnya jika mau duduk
bersama, baik Kemenpora maupun PSSI bisa membawa sepak bola Indonesia ke arah
yang lebih baik. "Akan jauh lebih baik kalau mau duduk bersama, saya yakin
sepak bola kita akan lebih bagus. Yang kurangnya dibenahi, lebihnya dipertahankan
dan ditingkatkan," tegasnya.
Penonton sepak bola kecewa.
Para penggemar sepak bola di tanah air merasa gusar
akan keputusan FIFA melarang tim-tim Indonesia berlaga di pentas internasional.
Menurut FIFA,
larangan ini diberlakukan karena aktivitas kepengurusan sepak bola di Indonesia
telah secara efektif diambil alih oleh pemerintah. Perserikatan Sepak Bola
Seluruh Indonesia (PSSI) dan Kementerian Pemuda dan Olahraga belum juga
mencapai kesepakatan mengenai penyelenggaraan liga nasional, yang telah non-aktif
sejak pertengahan April.
Larangan itu
menyebabkan Indonesia tak bisa bertanding dalam babak kualifikasi Piala Dunia
2018 dan Piala Asia 2019.
“Kami kecewa;
sangat, sangat kecewa,” ungkap Heru Joko, ketua umum Viking, kelompok penggemar
klub sepak bola Persib. “Bukan masalah menang atau kalah, tetapi pertandingan
[tingkat internasional] bisa mempersatukan para suporter.”
FIFA menyatakan
larangan kali ini dijatuhkan akibat campur tangan pemerintah. Lembaga tertinggi
sepak bola dunia itu mewajibkan federasi tingkat nasional mengelola sepak bola
secara independen, tanpa pengaruh dari pihak ketiga.
Kerugian yang di alami Indonesia atas sanksi FIFA:
1. Indonesia dipastikan tidak dapat mengikuti
turnamen internasional baik timnas maupun klub, kemungkinannya bisa sepanjang
satu tahun atau dua tahun, hal itu tergantung daripada keputusan Exco FIFA.
2. Tidak akan ada kompetisi lokal yang diakui FIFA
atau otomatis sang juara hanya jago di kandang karena tidak teruji kekuatannya
di level internasional.
3. Suporter Indonesia tidak lagi bisa
bersorak-sorai mendukung timnasnya karena tidak ada pertandingan yang bisa
diikuti oleh timnas, seperti Asian Games, Olimpiade, Pra Kualifikasi Piala
Asia, Pra Kualifikasi Piala Dunia, Piala AFF, dan lain-lain.
4. Pemain sepakbola muda Indonesia dengan
bakat-bakat luar biasa seolah dikebiri lantaran tak bisa menunjukkan
performanya pada turnamen internasional.
5. Regenerasi perwasitan Indonesia pun akan semakin
lesu sebab tidak ada pertandingan internasional yang bisa mereka pimpin di
arena lapangan hijau.
6. Para sponsor dan media cetak maupun elektronika
akan kekurangan agenda meliput karena hilangnya jadwal pertandingan timnas di
tingkat internasional.
7. Sejumlah pemain naturalisasi akan gigit jari
karena tahu mereka tak bisa memperkuat timnas Indonesia ke tingkat
internasional.
8. Klub-klub besar dunia khususnya Eropa memikirkan
ulang rencananya berkunjung ke Indonesia.
9. Fans klub internasional kecewa batal melihat
pemain bintang dunia datang ke Indonesia.
Heboh Beras Plastik
(Tinjauan dari perlindungan Hak
Asasi Rakyat)
Pemerintah, melalui Kapolri
Jenderal Badrodin Haiti, menyatakan pemeriksaan ulang sampel beras yang
dicurigai mengandung unsur plastik menunjukkan hasil negatif.
"Hasil pemeriksaan di laboratorium forensik
(Polri), BPOM, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian, hasilnya
negatif, tidak ada unsur plastik."
Sebelumnya dalam acara di kantor wali kota Bekasi,
Kamis (25/5), Kepala Bagian Pengujian Laboratorium Sucofindo, Adisam NZ,
mengumumkan hasil uji dua sampel yang diberikan oleh Dinas Perdagangan Bekasi.
Hasilnya, ditemukan senyawa polivinil klorida, yang
biasa ditemukan pada produk plastik seperti kabel, pipa pralon (PVC) dll.
Campuran klorida itu komposisinya sebanyak 6,76% dari 250 gram beras yang
diperiksa.
Perbedaan hasil pemeriksaan, kata Kapolri Badrodin
Haiti, mendorong mereka melakukan pengujian lanjutan terhadap sisa sampel yang
diuji Sucofindo.
"Kami periksakan lagi ke (laboratorium) BPOM dan
laboratorium Polri. Hasilnya juga negatif."
Betapapun,
heboh tentang beras plastik itu telah menimbulkan keresahan luas. Betapa tidak?
Beras adalah makanan pokok masyarakat Indonesia, kebutuhan setiap rumah tangga
setiap hari.
Sejumlah pejabat yang geram mengancam akan mengambil
tindakan keras terhadap mereka yang menyebarkan kabar burung tentang beras
plastik.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Tejo
Edhy Purdijatno menggolongkan penyebaran isu itu sebagai perbuatan makar.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyebut pelaku penyebaran isu itu bisa
dipidanakan.
Di sisi lain,
untuk menenangkan pembeli, sejumlah pedagang dan pengelola pasar sampai harus
membuat dan memasang
spanduk khusus untuk menegaskan beras yang mereka jual tidak mengandung unsur
plastik.
Dari awal, desas-desus ini memang mengundang banyak
pertanyaan.
Sejauh ini kabar ditemukannya "beras
plastik" hanya terjadi di sebuah tempat di Bekasi, dan tidak meluas ke berbagai
daerah lain.
Hasanudin Abdurakhman, seorang doktor fisika yang
memimpin sebuah perusahaan Jepang yang memproduksi bahan plastik menganggap
beras plastik tidak masuk di akal dari segi produksi dan dari segi
ekonomi," tambahnya.
"Karena harga bahan dasar plastik -bahkan yang
daur ulang- akan lebih mahal dari beras, dan teknologi untuk memproduksinya
juga tidak bisa yang terlalu sederhana. Lebih-lebih plastik tak bisa dicerna
dan gampang dikenali rasanya yang asing oleh lidah," katanya
Dewi Septiani, 29 tahun, penemu beras
plastik di Kota Bekasi, Jawa Barat, pasrah. Dikarenakan beras temuannya itu
dinyatakan pemerintah tak mengandung senyawa plastik. Temuan ini berbeda dengan
penelitian dari PT Sucofindo yang menyatakan hasilnya mengandung senyawa plastik.
"Saya serahkan sepenuhnya ke
polisi," kata Dewi, Kamis, 28 Mei 2015. Ia mengatakan sejak mengadukan
beras yang diduga berbahaya tersebut, lalu diteliti oleh lembaga yang
berkompeten, ibu satu anak ini siap menerima apa pun hasilnya. "Saya juga
terbuka."
Awalnya setelah mendapatkan informasi
bahwa beras itu mengandung plastik, dia langsung lega. Dewi mengatakan beras
tersebut tak layak dikonsumsi, sehingga dia tak menjual makanan yang tak bisa
dimakan kepada konsumennya yang kebanyakan anak sekolah. "Kalau memang
tidak ada, saya juga enggak apa-apa. Berarti beras aman," kata dia.
Semula ia membeli beras sebanyak enam
liter dengan harga Rp 8 ribu seliter. Enam liter sudah dimasak, tapi tak sampai
dikonsumsi. Sisanya dua liter sudah dibawa oleh Pemerintah Kota Bekasi.
"Paling banyak dibawa oleh polisi," kata dia.
Perbedaan hasil antara Sucofindo dan
lima lembaga pemerintah membuat sejumlah warga bingung. Sebab, para peneliti
tersebut merupakan lembaga atau perusahaan yang tak diragukan lagi
kredibilitasnya. "Yang benar yang mana?" kata seorang pedagang beras
di Pasar Tanah Merah, Wilem.
Senada dengan Wilem, Kartika, 22 tahun,
konsumen beras, mengaku bingung karena dihadapkan dengan dua hasil yang berbeda
tersebut. Agar tak salah membeli beras, dia meminta jaminan kepada penjualnya.
"Jadi banyak bertanya sekarang kalau beli beras," kata warga
Jatimulya ini.
Sebelumnya, PT Sucofindo dan Pemerintah
Kota Bekasi merilis kandungan dalam beras yang diuji. Hasilnya, beras itu
mengandung pelentur plastik, di antaranya BBP (Benzyil butyl phtalate), DEHP (bis (2-ethylexyl
phatalate)), DINP (Diisionyl
Phatalate).
Tinjauan
dari perlindungan Hak Asasi Rakyat.
Dewi Ibu rumah tangga yang menemukan
beras plastik mengaku bahwa pengaduannya tak didasari motif apa pun, selain
ingin mengetahui kandungan dalam beras yang dia beli di pasar Tanah Merah
Mutiara Gading Timur, Kecamatan Mustikajaya. dikarenakan dia merasa ada yang
aneh dalam beras itu. "Saya hanya konsumen yang mengeluh dengan kualitas
beras," ucap Dewi.
PAHAM sebut jangan sampai temuan tersebut membuat
pelapor Dewi Septiani trauma, apalagi sampai merasa menerima intimidasi dari
aparat.
“Bila hal ini terjadi, orang akan cenderung abai dan
tidak mau melapor apabila melihat sebuah kejahatan,” tegas Sekjend Pusat
Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (Paham), Rozaq Asyhari, dalam
siaran persnya (Kamis, 28/5).
Dia mengungkapkan, apa yang dilakukan Ibu Dewi adalah
tindakan konsumen yang baik. Itu adalah upaya preventif untuk menghindarkan
masyarakat dari bahaya buruk bahan makanan yang diduga dari platik. Oleh
karenanya, langkah waspada yang demikian harus dicontoh oleh anggota masyarakat
lainnya.
“Bahwa yang dilakukan oleh Dewi Septiani adalah early
warning, yang seharunya merupakan kewajiban apparat terkait untuk
menindaklanjuti,” ungkapnya.
PAHAM menyayangkan adanya dugaan intimidasi yang
dialami oleh Ibu Dewi. Karena yang dilakukan Ibu Dewi sudah sesuai dengan
ketentuan pasal 165 KUHP. Dimana ada kewajiban bagi setiap orang untuk
melaporkan kepada polisi jika mengetahui terjadinya suatu tindak kejahatan.
Walaupun dalam Pasal 165 KUHP tersebut hanya disebutkan beberapa pasal tindak
kejahatan.
“Namun secara umum, hal ini merupakan suatu upaya
untuk mencegah terjadinya suatu tindak kejahatan,” terang kandidat Doktor dari
Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
Karena itu PAHAM mendorong agar Kapolri memberikan
penghargaan kepada Dewi Septiani dan memberikan sanksi kepada oknum yang diduga
mengintimidasi.
“Saya rasa layak Pak Badrodin Haiti memberikan
penghargaan kepada Bu Dewi. Karena sebagai warga negara yang baik telah
memberikan laporan sebagai bentuk kewaspadaan sesuai dengan ketentuan pasal 165
KUHP. Hal ini untuk merangsang agar masyarakat peduli dengan persoalan hukum
yang ada di sekitarnya. Disisi lain, apabila memang terbukti ada oknum aparat
yang melakukan intimidasi selayaknya pula Kapolri berikan teguran atau sanksi”,
tegasnya.
Kriminalisasi dan pembongkaran aib pemerintahan memang
sangat beresiko bagi kalangan rakyat terjajah, seperti pelapor beras plastik
Dewi Nurriza Septiani. Beliau memberikan laporan tentang adanya beras yang
berasal dari bahan plastik yang sekarang “Katanya” menteri pertanian periode
kabinet Joko Widodo, Andi Arman Sulaiman meminta penjelasan pelapor tentang
beras plastik yang “Katanya” tidak ada, Menteri mempertegas kepada pelapor
harus mempertanggung jawabkan atas isu beras plastik yang terlanjur tersebar
luas di Indonesia kepada pihak berwajib karena mengundang keresahan dan
ditakutkan adanya ketidakpercayaan objek pasar yakni pembeli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar