Mata Kuliah : Etika
Bisnis
Sub Pokok : Pasar dan Perlindungan Konsumen
Makanan Kedaluwarsa dan Perlindungan Konsumen
Beberapa
hari belakangan ini media massa gencar memberitakan penemuan bahan makanan
kedaluwarsa. Awalnya menurut beberapa pemberitaan di media online, salah satu
restoran bermarkas di Jakarta yang menyajikan kuliner asal Jepang diduga
menggunakan bahan baku yang telah kedaluwarsa.
Meski
pihak perusahaan sudah menggelar jumpa pers untuk meluruskan kabar miring ini,
dengan menghadirkan ahli teknologi pangan, masyarakat yang kerap mengonsumsi
produk restoran tersebut menjadi galau hatinya. Betapa tidak! Mereka selama ini
telah mengonsumsi makanan yang kurang aman bagi kesehatan.
Pertanyaannya, bagaimana pemerintah melindungi konsumen
pangan? Jika dugaan ini terbukti kebenarannya, patut dipahami bahwa sistem
pangan di Indonesia telah berubah. Cara dan mekanisme penyediaan pangan untuk
kebutuhan masyarakat tidak seperti dulu lagi. Tidak cukup hanya memproduksi
bahan pangan, kemudian menyajikannya di atas piring. Mesin industrialisasi dan
globalisasi telah membawa pangan ke ranah komersial yang kapitalistik. Motif
ekonomi untuk mencari keuntungan diduga melatarbelakangi berbagai kejahatan di
bidang pangan.
Temuan Terbanyak masih segar dalam ingatan, pangan kadaluwarsa menjadi temuan terbanyak Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) dalam intensifikasi pengawasan jelang Natal 2015 dan Tahun Baru 2016. Hingga 21 Desember 2015, Badan POM menemukan 3.499 item atau 121.610 kemasan pangan tidak memenuhi ketentuan. Kerugian ekonomi dari pangan ini mencapai lebih dari Rp4,8 miliar.
Jenis pangan kadaluwarsa yang paling banyak ditemukan antara lain mie instan, susu kental manis, bumbu, teh, minuman serbuk, dan makanan ringan. Seandainya kita lebih rajin mengelilingi sejumlah pasar tradisional, niscaya tidak sulit menemukan makanan ke-daluwarsa dan produk makanan lainnya yang menggunakan pengawet yang tidak aman untuk kesehatan. Makanan bermutu rendah acap menyerbu kehidupan kita.
Ini bentuk kejahatan di balik bisnis makanan yang semakin kerap muncul ke permukaan. Bakso, mie basah, tahu, ikan, daging ayam, buah, dan sayuran adalah makanan sangat populer yang dalam proses pengolahannya sarat dengan ketidakjujuran karena menggunakan bahan tambahan makanan yang tidak aman. Penggunaan bahan berbahaya ke dalam makanan sebenarnya sudah muncul sejak 1980-an. Ia telah masuk dan bersemayam di dalam perut masyarakat konsumen sekitar tiga dekade.
Ironisnya, belum ada tindakan tegas yang dilakukan pemerintah untuk mencegah kejahatan itu. Mungkin karena konsumen tidak tampak berteriak kesakitan dan langsung tewas seperti korban serpihan bom teroris sehingga pemerintah membiarkan anak bangsa ini tetap mengonsumsi makanan beracun untuk kemudian mati secara perlahan. Berulangnya kasus peredaran pangan kedaluwarsa sangat berisiko menyebabkan keracunan pangan.
Masyarakat patut mengetahui informasi yang sebenarnya tentang bahaya di balik makanan kedaluwarsa. Hal itu menjadi hak masyarakat dan dalam UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur dalam Pasal 4. Siapa yang harus bertanggung jawab? Pelaku industri pangan sebagai produsen adalah pihak yang harus bertanggung jawab.
Produk pangan yang beredar di Indonesia, termasuk di dalamnya produk impor yang dipasarkan di Indonesia serta produk pangan produksi UMKM, harus memenuhi persyaratan perundangan yang berlaku. Pemerintah melalui Undang- Undang Nomor 18/2012 tentang Pangan telah memberikan mandat kepada produsen pangan untuk mencantumkan informasi waktu kedaluwarsa produknya.
Ketentuan tersebut tertuang pada Pasal 89, setiap orang dilarang memperdagangkan pangan yang tidak sesuai dengan keamanan pangan dan mutu pangan yang tercantum dalam label kemasan pangan. Hal senada juga dipertegas dan ditetapkan oleh pemerintah seperti tercantum pada UU Nomor 23/1999 tentang Kesehatan.
Alternatif :
1.
Pengawasan terhadap
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya
diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat.
2.
Apabila hasil
pengawasan ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan membahayakan konsumen, menteri dan atau menteri teknis mengambil tindakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Solusi :
Alternatif
yang dipilih yaitu alternatif 2, sebagaimana perlu adanya pengawasan yang
dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, serta lembaga perlindungan swadaya
masyarakat dalam mengawasi barang atau
jasa yang ditawarkan, yang mana harus memenuhi kelayakan produksi yang
berhubungan erat dengan karakteristik dan sifat dari barang atau jasa sebelum
diperdagangkan dan dikonsumsi oleh
konsumen. Ketika mereka sebagai konsumen merasa telah dirugikan atas
barang atau jasa yang ditawarkan oleh para pelaku usaha, sebagai konsumen yang
dirugikan mereka akan mendapatkan perlindungan hukum serta dapat mengajukan
gugatan, tuntutan, dan mendapatkan ganti rugi (jika memang terbukti bersalah)
berdasarkan UUPK (Undang-undang Perlindungan Konsumen).
Disarankan
agar ketentuan perundang- undangan yang berkaitan dengan Perlindungan Konsumen
agar tetap dijalankan secara menyeluruh dan komprehensif agar supaya apa yang
menjadi cita-cita untuk dapat melindungi konsumen dapat terwujud. sebagaimana
pula agar pelaku usaha juga dapat berkembang sesuai dengan era globalisasi saat
ini, sehingga konsumen dan pelaku usaha mematuhi hak dan kewajiban, pelaku
usaha tidak melakukan perbuatan yang dilarang, dan mematuhi aturan yang
berkaitan dengan klausula baku, dan bertanggung jawab atas segala kegiatan usahanya.
Referensi: